Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Dan Budaya Amanuban Kembali Melakukan Musyawarah Adat Yang Ke Dua

TTS||Suarafaktual.com
Bertempat di Sonaf Sonkolo, Niki-Niki pada 11 Nopember 2023, musyawarah ini dilakukan untuk menindaklanjuti musyawarah yang pertama dan beberapa pertemuan dengan instansi, terkait monopoli tanah yang dilakukan oleh Pihak Kehutanan atas 115 Desa di Wilayah Adat Amanuban dengan luasan Wilayah yang mencapai 58.329,05 Ha.
Selain itu, pertemuan tersebut juga sebagai media konsolidasi antar sesama masyarakat adat se-Amanuban serta beberapa Desa konflik yang juga punya hubungan dengan penguasaan lahan oleh Kehutanan, peternakan, Tambang seperti Pubabu dan Desa Supul (Tambang Mangan).
Sehingga ini menjadi momentum untuk menatukan gerakan rakyat Amanuban yang selama ini telah ditindas dan tidak dihargai warisan budaya yang telah dipertahankan.
Sebelum pertemuan diselenggarakan, beberapa Instansi turut diundang oleh masyarakat untuk mendengar langsung aspirasi masyarakat di antaranya BPKH-TL Wilayah XIV Kupang, DPRD Provinsi NTT, DPRD Kabupaten TTS, Bupati TTS dan KPH Kabupaten TTS. Namun dari semua instansi yang di undang hanya KPH TTS yang memberanikan diri untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.
Acara dimulai pukul 12.00 Wita yang dibuka dengan Doa dan menyanyikan lagu Lais Manekat serta mengheningkan cipta sebagai bentuk refleksi atas perjuangan leluhur masyarakat Amanuban yang dengan gagah berani mengusir Kolonial Belanda dari Wilayah Hukum Adat Amanuban.
Exsimus O. Tse selaku Ketua Panitia Musyawarah Adat Amanuban II, menyampaikan bahwa kegiatan ini dilakukan untuk mengkonsolidasi seluruh masyarakat adat di Wilayah Amanuban secara keseluruhan.
Ini juga menjadi semangat baru untuk memupuk persatuan karena hari ini eksistensi masyarakat adat semakin terancam dengan adanya penetapan hutan produksi laob-tunbesi yang didalamnya ada kebun, kandang, belukar, pekarangan, rumah dan tanah-tanah suku yang sudah dibagikan oleh Raja Amanuban pada waktu itu. Kami tidak segila yang pemerintah bayangkan untuk menyerahkan tanah miliki setiap suku dalam kastuan hukum adat amanuban untuk diserahkan kepada pihak kehutanan karena kami hidup dari tanah yang telah kami garap selama ini.
Usi Pina Ope Nope dalam penyampaiannya mengatakan bahwa Musyawarah ini diselenggarakan guna menentukan langkah taktis perjuangan masyarakat Amanuban.
“Dilaksanakan nya musyawarah ini untuk menentukan langkah taktis perjuangan masyarakat Amanuban dalam memperjuangkan hak demokratis sebagai masyarakat adat yang tentunya harus dihargai dan diakui oleh Negara bukan justru mengenyampingkan eksistensi masyarakat adat yang sebenarnya masyarakat adat diseluruh gugusan Nusantara memiliki kontribusi besar atas perjuangan kemerdakaan Republik Indonesia,” pungkasnya.
Tambahnya lagi, Kami akan terus berjuang hingga hak masyarakat adat kembalikan sepreti semula, kami juga sedang melakukan persiapan untuk melaporkan situasi ini ke Jakarta baik ke Presiden Maaupun KLHK karena pencaplokan tersebut melalui SK LHK.
Nikodemus Manao Perwakilan Masyarakat Adat Pubabu, Amanuban Selatan juga mengatakan, bahwa NTT saat ini diserang oleh infestasi besar yang mengorbankan ribuan tanah rakyat.
“Saat ini NTT diserang oleh Investasi besar yang mengorbankan Ribuan tanah rakyat hingga Negara tidak segan-segan untuk melakukan penggusuran, intimidasi dan Kriminalisasi. Sehingga pentingnya penyatuan gerakan antar sesama rakyat tertindas. Tidak banyak hal yang bisa kita harapkan dari Rezim hari ini,” ujar Nikodemus Manao.
Terbukti, ketika kami masyarakat Pubabu meminta keadilan dan hak demokratisnya namun Negara hingga saat ini menutup mata dan telinga. Seolah-olah kami bukan bagian dari masyarakat NKRI.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH TTS) melalui Kepala Seksi Perencanaan dan Pengelolaan Hutan, Christian Koenunu, S.Hut ( Dalam Video ) menyampaikan bahwa pihaknya mengapresiasi kegiatan Musyawarah yang diselenggarakan oleh Masyarakat Adat Amanuban, ia juga meminta agar masyarakat melakukan penertiban administrasi dan batas-atas wilayah Adat sehingga pihaknya menyampaikan keberatan masyrakat adat kepada pimpinan diatasnya untuk dilakukan Review kembali dalam penetapan hutan produksi tetap Laob-Tunbesi.
Sekertaris Panitia Musyawarah Adat Amanuban II, Fadly Anetong (Bung Fad) yang juga salah satu Pimpinan AGRA NTT, menyampaikan kekecewaan terhadap KLHK dan Pihak KPH TTS (Christian Koenunu, S.Hut )
“Untuk saat ini kami sangat kecewa terhadap KLHK dan pihak KPH TTS yang meminta masyarakat untuk menentukan batas-batas wilayah adat, kalau memang pihak kehutanan mengakui eksistensi dan menghargai masyarakat adat Amanuban kenapa baru sekarang pihak kehutanan meminta batas-batas wilayah Adat, kenapa tidak dari sejaka awal penetapan hutan sebelum adanya SK LHK,” Ungkapnya kepada Pihak KPH TTS.
Tegasnya lagi, ” Dari awal saja sudah tidak ada itikad baik dari Pemerintah melalui SK LHK yang semua elemen masyarakat adat tidak ada yang mengetahui penetapan hutan Laob-Tunbesi. Pihak Kehutana jangan menggiring masyarakat pada pengakuan hutan masyarakat adat melalui skema Perhutanan sosial sebagimana yang telah di sampaikan oleh beberaapa instansi tentang solusi dari penyelesaian kasus tersebut.
Jika memang KLHK dan Pihak kehutanan ingin mengembalikan tanah,rumah,kebun masyarakat yang masuk dalam kawasan hutan maka dikembalikan saja, tidak perlu menggunakan program perhutanan sosial maupun yang lainnya karena masyarakat adat Amanuban sudah hidup jauh sebelum Indonesia Merdeka,” ucapnya mengakhiri
Kabiro TTS