Kaum Tani dan Mahasiswa di NTT Lakukan Aksi Peringatan Hari Tani Nasional Yang ke 64.

NTT || Suarafaktua
Momentum Hari Tani Nasional (HTN) merupakan hasil rentetan perjuangan panjang kaum tani di seluruh Indonesia untuk menuntut Reformasi Agraria. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria adalah bukti nyata betapa sengitnya perjuangan kaum tani yang telah melahirkan perundang-undangan bukan hasil belas kasihan dari negara melainkan hasil desakan dan perjuangan panjang kaum tani.

Dalam momentum HTN yang ke 64 kali Ini, Aliansi Rakyat Menolak Perampasan Tanah menilai bahwa perjuangan kaum tani untuk menuntut Reformasi Agraria telah dilacuri rezim berganti rezim. Tuntutan pokok kaum tani telah dikaburkan demi hasrat profit melalui investasi dan skema hutang yang terus menjerumuskan kaum tani pada jurang kemiskinan bahkan penggusuran, penangkapan hingga pembunuhan kaum tani yang berlawanan atas pembangunan Mega proyek yang memakan jutaan tanah rakyat. Baik itu proyek strategis nasional (PSN), Energi Baru Terbarukan, perkebunan besar, pertambangan maupun Taman Nasional.

Valentino Ola, selaku Koordinator Umum dalam aksi HTN menyampaikan bahwa di wilayah pegunungan, pedalaman hutan, pesisir pantai, kapital asing juga beroperasi menciptakan puluhan Taman Nasional baru yang merampas ruang hidup jutaan hektar tanah dan air milik suku bangsa minoritas (tanah adat/ulayat), rakyat tani perdesaan dan kaum nelayan. Semua perampasan ruang hidup rakyat tersebut berkedok konservasi, ekonomi hijau, dan bisnis karbon; demikian halnya konsesi jutaan hektar perkebunan skala besar (sawit, HTI, karet, tanaman bio-massa) dan aneka pertambangan skala besar (migas, emas, batubara, geothermal, nikel, pasir besi, mangaan, dll).

Seluruh perampasan dan monopoli tanah yang semakin ganas dan rakus tersebut sungguh tidak cocok sama sekali dengan janji palsu rezim Jokowi yang mengusung Nawa Cita di masa pertama periode pemeritahannya. Demikian juga pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi mengusung kebijakan reforma agraria palsu, karena hakekatnya adalah proyek administrasi tanah (legalisasi tanah dan liberalisasi pasar tanah) bagi kepentingan investasi asing maupun domestik. Rezim ini gagal total dalam memperbaiki keadilan agraria, bahkan menjadi biang kerok paling busuk dalam menciptakan ketidakadilan agraria dan memperburuk krisis perdesaaan semakin dalam. Pungkasnya.

Kehidupan kaum tani, nelayan dan suku bangsa minoritas/masyarakat adat di perdesaan, sungguh menderita karena perampasan tanah yang sangat ganas, minimnya sarana dan prasarana produksi pertanian, jatuhnya harga, selain ancaman gagal panen akibat kerusakan iklim, pemanasan global di mana musim kemarau semakin panjang atau serangan hujan badai bila memasuki musim penghujan. Beban krisis yang dialami kaum tani sungguh berlipat-ganda, baik petani sawah, ladang, holtikultur, termasuk petani sawit, karet, dan tanaman komoditas lainnya. tutupnya.

Nikodemus Mana’o, Perwakilan Masyarakat adat Pubabu-Besipae juga Menyampaikan situasi rakyat Pubabu sejak kepemimpinan rezim Jokowi dan Viktor Laiskodat di NTT, rakyat Pubabu yang mempertahankan hak atas tanahnya terus dihantui intimidasi, penggusuran bahkan penangkapan seperti yang menimpa dirinya. Proyek Instalasi Peternakan yang memakan lahak sekitar 6000 Ha di hutan Pubabu yang konon katanya ingin mensejahterakan rakyat seperti tong kosong nyaring bunyinya.

Tidak ada proyek yang berhasil yang dibanggakan oleh Gubernur NTT saat itu, justeru Pemprov NTT hanya menyisakan kesengsaraan bagi rakyat Pubabu. Ibaratnya Sapi/hewan/binatang lebih penting dibandingkan rakyat dan nyawa manusia, karena hingga saat ini tidak ada pertanggungjawaban dari Pemprov NTT. Tutupnya

Aldi Benu, Selaku Ketua IKMAS-TTS (Ikatan Mahasiswa Timor Tengah Selatan) Ketimpangan Agraria yang menimpa masyarakat adat Amanuban saat ini adalah bukti nyata betapa rakusnya Negara karena penetapan SK KLHK No 357 tahun 2016 tentang penetapan Hutan Laob-Tunbesi menjadi hutan produksi tetap adalah tanpa sepengetahuan dan musyawarah bersama masyarakat di seluruh wilayah Amanuban. Tegasnya.

Aldi juga mendesak agar DPRD NTT mengambil langkah tegas dalam penetapan sepihak dari negara baik penetapan Hutan Laob-Tunbesi, Hutan Pubabu maupun Penetapan Flores sebagai pulau panas Bumi. Penetapan sepihak ini adalah malapetaka dan biang dari semua persoalan Agraria di NTT yang tentunya akan mengadu domba antara masyarakat dan pemerintah. Sehingga fungsi DPRD harus berperan aktif jangan sampai masyarakat menganggap bahwa DPRD buka perwakilan rakyat tapi penghianat rakyat. Tutupnya.

Irman Baleng, Ketua IKMAR ( Ikatan Mahasiswa Nusa Lontar) Rote Ndao menyampaikan kelangkaan pupuk dan BBM di kabupaten Rote Ndao terus mencekik kehidupan petani dan nelayan. Ia juga menjelaskan bahwa ada kapal pengangkut minyak yang sering sandar di Pelabuhan Papela, Kecamatan Rote Timur namun masyarakat nelayan di wilayah pesisir Papela tidak pernah mendapatkan akses BBM sehingga masyarakat harus pergi jauh ke Kupang untuk membeli Solar misalnya.

Hal yang lebih parah lagi ketika masyarakat selesai membeli BBM (Solar) dan ingin kembali ke Rote selalu ada penahanan dari pihak Kepolisian (Pol Air). Padahal kebutuhan nelayan untuk perahu ukuran 3 GT mencapai 2 Drom sekali melaut, namun terkadang ada pencegatan dari pihak kepolisian. Jika nelayan tidak membawa minyak maka yang akan di permasalahkan lagi adalah penumpang baik itu penumpang dewasa maupun anak di bawah umur, yang sebenarnya penumpang tersebut adalah keluarga kandung dari para nelayan. Namun tetap menjadi persoalan bagi Pol Air. Tutupnya

Anwar Ataring, Salah satu Pimpinan FMN Cabang Kupang juga menambahkan bahwa Kami menilai praktek semacam itu hanya untuk mencari-cari kesalahan para nelayan dan menyusahkan keberlangsungan hidup nelayan tradisional. Kami menduga nelayan dijadikan sasaran operasi BBM hanya untuk menutupi Mafia besar yang di lindungi.

Kita semua tahu bagaimana informasi yang beredar tentang seseorang yang ingin membongkar mafia BBM namun mendapatkan ancaman Mutasi. Maka kelangkaan BBM bukan karena kurangnya kuota melainkan adanya mafia oleh orang-orang besar. Dan kami peringatkan bahwa kami juga selain bersama kaum Tani, kami sudah membangun relasi dengan para nelayan dan mendapatkan banyak informasi tentang pungutan-pungutan liar dan banyak kejanggalan di NTT. Maka kami akan terus melakukan investigasi dan advokasi ditengah-tengah kehidupan nelayan yang terus terhambat keberlangsungan hidupnya.

(F.A)