Membedah Dan Menganalisa Diksi “Hajar” Pada Sidang Pembunuhan Berencana Terhadap Brigadir Josua
(Penulis, Adrianus Atty ( Kaperwil Media Online Suarafaktual.com NTT)
Ada perdebatan yang menarik berkaitan pemaknaan satu diksi yang muncul dalam persidangan kasus pembunuhan berencana yang didakwakan kepada Ferdy Sambo dan kawan-kawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa hari lalu.
Pengacara Ferdy Sambo, Febry Diansyah menyoal kata “hajar” yang diucapkan oleh Ferdy Sambo ketika memerintahkan kepada Barada Richard Eliezer agar segera “membuat perhitungan” dengan Brigadir Yoshua.
Febry memaknai kata “hajar” itu bukan bermaksud menembak dan menghabisi Brigadir Yoshua, melainkan yang lain. Pemaknaan kata “hajar” oleh pengacara menjadi sangat mengambang dan tidak menawarkan jawaban yang konkret.
Di dalam kajian analisis wacana, kajian terhadap penggunaan diksi seperti ini dilakukan. Meskipun analisis wacana sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu bahasa yang lebih besar daripada kalimat, namun Gamson dan Modigliani (Eriyanto, 2001) berpendapat, kajian wacana menganalisis penggunaan bahasa dengan memanfaatkan perangkat pembingkaian (framing devices), khususnya ‘catchphrases’ (frasa).
Disini, saya meminjam elemen frasa untuk menganalisis unit diksi (hajar) yang digunakan dalam catatan ini.
Diksi “hajar” dapat dianalisis dengan menggunakan teori Gamson, yakni mengidentifikasi penggunaan piranti kebahasaan diksi dalam teks wacana. Dalam hal ini kita menganalisis penggunaan frasa ‘hajar’ dalam wacana eksepsi yang disampaikan oleh pengacara Ferdy Sambo dalam sidang pembunuhan berencana tersebut.
Dalam analisis wacana memang banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan pengetahuan yang luas. Semua unsur yang terkandung di dalam wacana merupakan suatu rangkaian. Pada dasarnya, bahan-bahan yang diperlukan merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi yang diwujudkan dalam situasi yang sebenarnya.
Akan tetapi kita dapat menganalisis wacana berdasarkan unit bahasa yang terkecil, yakni kata, diksi, atau frasa. Jika merujuk pada diksi “hajar” menurut versi pengacara Ferdy Sambo. Itu diucapkan pada saat menjelang Brigadir Yoshua ditembak oleh Barada Richard Elieizer. Diksi “hajar” ini harus dilihat diucapkan pada situasi apa dan di mana ? Sebab, analisis wacana memang mengkaji rangkaian ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur.
Menjelang Barada Richard Eliezer menembak Brigadir Yoshua, ada situasi yang berkembang sebelumnya di lokasi penembakan. Pertama, ada senjata api (pistol) yang sudah disediakan dan kedua, ada perintah, katakanlah menggunakan diksi “hajar”.
Realitas yang dapat menggiring pendapat publik bahwa perampasan nyawa Brigadir Yoshua disiapkan, itu ditandai dengan Ferdy Sambo yang mengenakan sarung tangan. Kita sangat maklum, sarung tangan dimaksudkan agar sidik jari tidak terbaca ketika diselidiki oleh pihak penyidik. Situasi ini akan saling mendukung dengan penggunaan diksi “hajar” yang bermakna “habisi” atau “tembak mati”.
Jadi, diksi ‘hajar’ tersebut harus disesuaikan dengan konteks, situasi dan tempat kata itu diucapkan. “Hajar’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘hantam’, yakni memukuli dan sebagainya supaya jera, membuat tidak berdaya.
Bagaimana caranya untuk membuat objek (Brigadir Yoshua) tersebut tidak berdaya adalah menggunakan alat yang ada di tempat diksi itu diucapkan. Tentu saja yang tersedia di lokasi, tempat Brigadir Yoshua dihabisi adalah senjata api, pistol yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Tentu saja berbeda kalau seorang pelatih tinju memerintahkan petunjuknya untuk menghajar lawan, jelas sesuai dengan situasi apa yang sedang dilakukan, yakni bertanding tinju yang mengandalkan kepalan sarung tinju di tangan. Jadi, sangat keliru jika diksi ‘hajar’ itu dimaknai dengan yang lainnya jika dikaitkan dengan konteks peristiwa itu terjadi.
Konteks mencakup semua situasi yang berada di luar teks (‘hajar’) dan memengaruhi pemakaian bahasa seperti partisipan, situasi, fungsi, benda, dan lain-lain yang ada di suatu tempat. Konteks fisik, salah satu di antara empat elemen konteks (konteks espistemis, konteks linguistik, dan konteks sosial), yang berterima dengan kasus pembunuhan berencana di Duren Tiga itu.
Konteks fisik meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa (Duren Tiga) dalam suatu komunikasi (antara Ferdy Sambo dengan Berada Richard Eliezer dll), objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu (Brigadir Yoshua), dan tindakan (‘hajar’) atau perilaku dari para pemeran dalam komunikasi itu (upaya pembunuhan yang melibatkan Ferdy Sambo, Richard Eliezer, Rizky Rizal Wibowo, Kuat Ma’ruf).
Berdasarkan elemen dan segmen inilah kita mengkaji dan menganalisis penggunaan dan pemaksaan diksi ‘hajar’ dalam kasus Ferdy Sambo. ‘Hajar’ yang diperintahkan kepada Barada Richard Eliezer bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan alat yang sudah disediakan, pistol.
Banyak orang memahami secara keliru perihal penggunaan diksi seperti ini yang terkait dengan rangkaian suatu peristiwa atau wacana. Tetapi, kajian analisis wacana akan mementahkan semua upaya membelokkan makna linguistik dalam suatu wacana. Sebuah peristiwa atau wacana selalu memiliki keterkaitan berdasarkan berbagai elemen kebahasaan. Sebab wacana memang mengungkapkan suatu subjek yang menyoal tentang satu objek atau lebih. Wacana dibentuk oleh unsur segmental (yang berkaitan dengan segmen, bagian) dan nonsomental (bukan segmen atau bagian).
Melihat kerancuan cara berpikir terutama dalam memaknai suatu diksi atau frasa, mungkin sudah saatnya kalangan pengacara juga memperoleh pengetahuan tambahan mengenai analisis wacana (kritis) yang dapat mereka manfaatkan jika terjadi ‘kemelut’ pemaknaan diksi atau frasa (bahasa) dalam menyusun wacana pembelaan.
Sebab, dalam sidang pengadilan mengenai kasus apa pun bukan hanya terjadi pertarungan mengetengahkan bukti dan fakta semata, melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menyajikan frasa atau diksi yang mampu memberi keyakinan kepada hakim bahwa yang dikemukakan itu tidak saja diterima berdasarkan penilaian juridis, tetapi juga secara logika kebahasaan. (***/NTT)