Hari Tani Nasional WALHI NTT Menginisiasi Diskusi Bertajuk Generasi Z Dan Tantangan Petani 2023.
Kupang, NTT||Suarafaktual.com
Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional 2023, WALHI NTT menyelenggarakan diskusi bertajuk “Generasi Z dan Tantangan Petani 2023” bertempat di kantor WALHI NTT ( Jl. Bung Tomo No.8, Kelapa Lima, Kota Kupang) yang menghadirkan 3 narasumber dari berbagai latar belakang yang berbeda, Elsa Sasi (Mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan peminatan Komunikasi Antarbudaya, Undana), Febrianto Binatara (Front Mahasiswa Nasional Cabang Kupang) dan Deddy Holo ( Kadiv Perubahaan Iklim dan Kebencanaan, WALHI NTT).
Tanggal 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional dalam keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal ini bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA menjadi dasar dalam upaya merombak struktur agraria Indonesia yang timpang dan sarat akan kepentingan sebagian golongan akibat warisan kolonialisme pada masa lalu.
Sebagaimana diketahui bahwa generasi Z merupakan generasi dengan kelahiran tahun 1997 – 2012 dan berusia 11 – 26 tahun (2023) yang disaratkan sebagai generasi yang sudah terbiasa dan hidup berdampingan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam diskusi ini, WALHI NTT menemukan persoalan bahwa adanya perampasan lahan yang dimiliki petani, sebenarnya menghilangkan kearifan lokal baik itu dari sisi budaya maupun kegiatan bercocok tanam yang sudah dilakukan dan diwariskan oleh leluhur dan pemerintah melalui skema yang diberikan baik melalui kementrian lingkungan hidup, dinas perhutanan, hutan lindung dan cagar alam yang kemudian mengambil alih tanah rakyat sehingga akses masyarakat terhadap tanah sangat susah.
“Kalau dilihat dari perpektif komunikasi antarbudaya, khusunya pada perampasan lahan mengakibatkan kehilangan daripada identitas dan nilai-nilai budaya yang memang sudah menjadi kebiasan petani di daerah tersebut. Petani lokal yang sudah turun temurun mewarisi tradisi bercocok tanam mereka yang kemudian menjadi luntur atau hilang karena pengambilalihan lahan dan pengalihfungsian lahan menjadi industri,” tegas Elsa Sasi.
Hal serupa kemudian disampaikan Febrianto Bintara berkaitan dengan petanian yang menjadi basis perekonomian masyarakat akan terhambat karena pengambilalihan hutan dan tanah yang merupakan desain yang diakukan oleh kapitalis monopoli untuk memenuhi krisinya sehingga eksistensi masyarakat adat akan berpengaruh terhadap perampasan tanah dan juga monopoli tanah.
Diskusi ini bagi WALHI NTT memberikan refleksi mendalam bahwa petani merupakan profesi yang mulia karena dari petani masyarakat bisa mendapatkan makanan untuk memenuhi kehidupanya karena itu dengan merubah pola pikir terkait stigma mengenai petani, anak muda bisa terlibat untuk kemudian mempunyai kesadaran bahwa petani merupakan pekerjaan yang dibutuhkan.
“Petani harus dilindungi haknya dan ruang hidupnya, segala sesuatu yang dikerjakan apalagi berkaitan dengan pangan dan negara memiliki tanggung jawab melindungi sumber pangan, dan sebagai generasi muda juga tidak perlu malu kembali ke kampung untuk menjadi petani karena petani menjadi kekuatan negara,” ujar Deddy Holo.
Selengkapnya dapat ditonton di youtube channel WALHI NTT.
Kabiro TTS