ARAKSI NTT Desak Presiden Copot Kapolri Atas Kegagalannya Memimpin Institusi Polri

SOE-NTT|suarafaktual.com

Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAKSI) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), melalui koordinator ARAKSI Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mengecam tindakan represif yang dilakukan aparat Kepolisian Polres Belu terhadap Daftar Pencarian Orang (DPO) Kasus dugaan Pengeroyokan yang terjadi fatubenao, Kabupaten Belu tanggal (6/9/2022) silam.

Hal itu dapat dilihat pada tragedi kematian korban dugaan pembunuhan dengan cara ditembak oleh Anggota Polres Belu.

“Tindakan represif aparat kepolisian akhir-akhir ini telah membenarkan bahwa kesewenang-wenangan institusi polri terhadap Hukum dan kepentingan rakyat sangatlah nyata didepan mata. Hal itu dapat dilihat pada tragedi kematian Brigadir J, Kasus sebagai korban dugaan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Polri, Irjenpol Ferdi Sambo, bagaimana drama dimainkan,” ungkapnya

Dony juga, memaparkan bahwa keterlibatan puluhan anggota Polri yang turut membacup kejahatan pembunuhan berencana mantan Kadiv propam tersebut menunjukan bahwa Institusi tersebut sedang tidak baik-baik saja.

Selain itu, munculnya sketsa/agan struktur pengaturan permainan gelap yang berseliweran di jagad dunia Maya, mulai dengan kaisar Sambo dengan judi onlinenya, narkoba, hingga konsorsium 303 juga menjadi bukti bahwa Polri sedang dilanda wabah minim kepercayaan.

“Hal ini juga bisa dinilai sebagai gagalnya Kapolri dalam melakukan pembinaan terhadap anggotanya. Selain itu dapat dinilai sebagai upaya pembiaran terhadap aksi nakal para pembantunya. Sebab serasa tidak mungkin anggota bertindak tanpa sepengetahuan atasannya,” ucap Dony

Sehingga atas dasar itu, ARAKSI mengatakan Kapolri bertanggung jawab atas insiden penembakan yang menewaskan warga sipil di Desa Tasain Kabupaten Belu yang dilakukan oleh Anggota Polres Belu, kemaren Selasa (27/9/2022).

“Tindakan represif saat penangkapan terduga pelaku tindak pidana pengeroyokan dengan cara membunuh korban menandai arogannya realisasi jargon Polri Presisi,” ujar Dony

Dia juga meminta Kapolri untuk melakukan reformasi institusi secara total pada tubuh Polri.

“Kami (ARAKSI) meminta Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo untuk segera menyelamatkan Institusi Polri sebagai amanat reformasi dari kegagalan Kapolri dalam melakukan pembinaan terhadap anggotanya,” tegas Dony

“Atas akumulasi kegagalan Kapolri dalam menggawangi Institusi Polri, kami meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mencopot Kapolri karena dianggap telah gagal dalam melaksanakan tugasnya,” tandasnya

Selain meminta Presiden Joko Widodo mencopot Kapolri jenderal, ARAKSI juga mendesak Kapolri agar segera menurunkan tim untuk melakukan pemeriksaan terhadap Kapolda NTT dan Kapolres Belu atas insiden pembunuhan terhadap masyarakat sipil di Kabupaten Belu.

“Kami desak Kapolri segera turunkan Tim untuk memeriksa Kapolda NTT dan Kapolres Belu. Kapolda NTT harus diperiksa terkait tindakan pembiaran terhadap Kapolres dan anggotanya dalam melaksanakan tugas kepolisian yang berlebihan sehingga menghilangkan nyawa manusia. Sedangkan Kapolres Belu diperiksa terkait perintahnya terhadap anggotanya membunuh dengan cara menembak warga sipil dengan alasan tersandung kasus dan melarikan diri. Tidak mungkin anggotanya melakukan pembunuhan dengan cara menembak tanpa perintah atasannya,” terang Dony

Menurutnya, kewajiban bagi sejumlah polisi untuk dibekali dengan senjata api (senpi). Namun, berdasarkan ketentuan yang ada, senpi tersebut tidak boleh digunakan di luar kepentingan tugas.

Terdapat aturan-aturan yang harus dipedomani dalam menggunakan senpi.

Lalu, bagaimana aturan tersebut? Apakah polisi boleh menembak mati?

Salah satu aturan terkait penggunaan senpi dituangkan dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Dalam peraturan tersebut, senpi hanya boleh digunakan jika benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

menghadapi keadaan luar biasa,
membela diri dari ancaman kematian atau luka berat, membela orang lain dari ancaman kematian atau luka berat,
mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang, menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa, dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup. Sebelum menggunakan senpi, polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara:

menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas,
memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya, dan memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi. Namun, dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu dapat mengancam jiwa petugas atau masyarakat, peringatan ini tidak perlu dilakukan.

Sementara itu, penggunaan senpi dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian merupakan penggunaan kekuatan tahap keenam atau terakhir.

Dalam aturan ini, polisi juga boleh menggunakan senpi saat mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat mengancam petugas atau masyarakat.

Jadi, Apakah Polisi Boleh Menembak Mati? Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan melakukan tembak di tempat merupakan kewenangan yang dimiliki oleh polisi.

Namun, penggunaan senpi ini tentu tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang.

Dalam Pasal 16 Ayat 1 huruf l UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri disebutkan, saat melakukan tugas di bidang proses pidana polisi berwenang untuk melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Salah satu bentuk dari tindakan lain tersebut adalah menggunakan senpi.

Syarat untuk melakukan tindakan lain, termasuk menembak dengan senpi, menurut undang-undang ini, yaitu:

tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan menghormati hak asasi manusia. Terkait tembak mati yang dilakukan polisi merupakan tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, eksekusi mati dapat dilakukan dalam rangka melaksanakan pemidanaan.

Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satu jenis pidana pokok adalah pidana mati.

Pemidanaan ini baru dapat dilaksanakan jika telah melewati rangkaian proses peradilan dan hakim memutuskan bahwa orang tersebut bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Artinya, tindakan menembak mati tanpa ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.

(RA/ TIM NTT)